Keuntungan dan Kemungkinan Terburuk Bisnis Properti Indonesia - Harga properti yang semakin tinggi, yang diakibatkan oleh alur
penjualan dari Penjuall utama properti, harga naik, kemudian di beli
oleh pembeli lainnya untuk di jual lagi, hingga harga naik lagi, bahkan
ini sampai berkali kali, sehingga saat propertii ini sampai pada
pengguna sebenarnya, harganya sudah terlalu mahal, sedikit banyak
seperti itu, mari kita pahami lebih jauh lagi.
Suatu kondisi yang mengenaskan kalau tiap weekend baru bangun tidur
kita disuguhi kenyataan harga-harga rumah yang selangit seakan ada
bubble properti di Indonesia. Tagline-tagline marketing yang sepertinya
enteng bener-bener bikin ciut nyali. Seolah wajar untuk mendengar
“Miliki rumah 3 kamar tidur di pemukiman asri hanya seharga 1.5 Milyar
rupiah” atau “Investasi seindah permata harga akan naik 2 minggu lagi,
miliki hanya dengan 2 Milyar rupiah saja”
Bubble Property di indonesia
Saya yakin, jangankan kelas bawah, kategori individu kelas menengah
pun akan agak jiper melihat harga setinggi langit itu. Berikut kilasan
bagaimana keluarga yang berpenghasilan cukup besar pun agak tertatih
tatih untuk mendapatkan rumah sekelas 1,5M yang sering disebut “hanya”.
Gokil, dengan asumsi harga rumah 1.5 milyar rupiah mari kita hitung
berapa cicilan per bulannya. Asumsikan pasangan Bapak-Ibu Bambang
menggunakan simulasi KPR salah satu bank swasta dengan suku bunga
efektif per tahun 7,5% dan dengan membayar DP sebesar 500juta rupiah,
maka cicilan bulanan yang harus dibayar selama 15 tahun adalah sebesar
9,2 juta rupiah harga saat ini.
Apakah cicilan tersebut berat? Relatif tentunya. Kalau Bapak Ibu
Bambang adalah seorang pengusaha luar biasa seperti Bakrie dan Hary
Tanu, mungkin kecil. Kalau Bapak Ibu Bambang adalah seorang pegawai
korup di salah satu departemen pemerintah, mungkin angka segitu juga
termasuk cemen. Namun bayangkan andaikan mereka hanya karyawan biasa
yang mesti berpeluh-peluh mencari uang, seberapa besarkah total gaji
yang mereka berdua butuhkan untuk bisa survive dan stabil sementara
membayar tagihan tersebut?
Dari hitung2an personal finance yang sehat tentu saja rasio kredit
sebuah keluarga yang baik adalah 30% dari total pendapatan. Tentu saja
kan, mereka pasti punya pengeluaran lain di luar cicilan. Bahkan
cicilannya itu pun bukan hanya rumah saja, bisa juga mobil, motor dan
lainnya. Oleh karena itu, paling masuk akal tanpa memiliki cicilan lain
lagi total pendapatan Bapak Ibu Bambang adalah minimum sebesar Rp
30,000,000 per bulannya!
Andaikan konsumsi harian + tabungan Bapak Ibu Bambang sebesar 10
juta per bulan, maka untuk mengumpulkan DP sebesar 500 juta pasangan
tersebut musti menunggu selama 25 bulan atau 2 tahun lebih!
Total pendapatan 30 juta rupiah dari sepasang suami istri tentunya
sangat banyak loh, sangat beruntung kalau dibandingkan
keluarga-keluarga lainnya! Sebagai perbandingan antara pasangan Bapak
Ibu Bambang dengan pasangan buruh yang UMR sekitar 2,2 juta (total 4,5
juta), maka Bapak Ibu Bambang bisa dibilang enam kali lebih beruntung!
Namun enam kali lebih beruntung itu pun masih kalang kabut untuk membayar rumah dengan harga “hanya” 1,5 milyar tersebut.
Pertanyaannya, kenapa harga rumah bisa terkereeeeeeeeeek sedemikian
tinggi? Apakah memang ada banyak sekali keluarga yang penghasilannya
>50 juta rupiah per bulannya di Indonesia ini sehingga rumah-rumah
mahal terjual seperti kacang hingga harganya melangit? Atau ada sesuatu
yang gak beres dengan harga ini yang sewaktu-waktu bisa meletus dan
boncos?
Bubble Properti di Indonesia?
Well, kalau mau berbasiskan beberapa sumber sebenernya Bank Dunia
sudah memperingatkan kemungkinan terjadinya bubble properti di
Indonesia. Menurut Bank Dunia, ada dua faktor yang bisa mendorong
kemungkinan terjadinya gelembung properti di Indonesia. Pertama,
peningkataan harga jual apartemen di Jakarta yang tumbuh 45 persen
(year on year) per Desember 2012. Hal yang sama terjadi di gedung
perkantoran dan lahan industri. Kedua, tingkat pertumbuhan kredit untuk
apartemen melaju cepat hingga 84 persen pada periode sama. Pinjaman
perbankan ini ikut mendorong kenaikan harga properti.
Pengertian Bubble: Untuk tujuan simplifikasi, kira-kira yang disebut
bubble adalah kenaikan harga tapi boncos. Kenaikan harga yang sifatnya
ilusi. Paling gampang adalah kasus bubble property di USA beberapa
tahun silam, di mana harga rumah gila-gilaan naiknya. Kenapa bisa
gila-gilaan? Karena banyak orang salah kaprah. Kenaikan harga rumah
yang terus menerus membuat banyak orang menjadi pemborong dan
berspekulasi. Mereka membeli rumah dengan harga lebih tinggi untuk
tujuan dijual dengan harga yang lebih tinggi lagi. Rumah rumah tersebut
dibeli ya banyak justru dibeli oleh orang-orang yang juga bertujuan
untuk menjual lagi. Lingkaran tersebut berlangsung terus hingga harga
meloncat liar. Rumah dibeli dan dijual diantara orang yang sebenernya
bermaksud cari untung, padahal pembeli rumah sesungguhnya (mereka yang
ingin membeli untuk ditempati) justru udah ga mampu dengan harga yang
segitu. Akhirnya, saat harga sudah terlalu tinggi, rumah pun banyak
yang tidak terjual lagi. Para penjual tersebut (yang membeli rumah
untuk dijual lagi menggunakan pinjaman dari bank) gagal bayar. Akhirnya
bank kolaps, para developer kolaps karena rumahnya banyak gagal bayar,
harga rumah amburadul terjun bebas, banyak jatuh miskin.
Walau trend spekulasi (membeli untuk investasi dan dijual lagi)
makin banyak di Indonesia. Namun, hal itu dibantah oleh beberapa pakar.
Untuk saat ini gelembung properti sulit terjadi di Indonesia. Selain
karena kondisi makro ekonomi relatif baik, secara keseluruhan kredit
perbankan untuk sektor properti masih di bawah rata-rata kredit
nasional.
Hm.. walau saya percaya ada indikasi kuat kita sedang bubble, secara
denger2 selentingan banyak developer yang nge-goreng sendiri barang
jualannya, OK lah kita anggap gak bubble. Lalu apa dong penjelasannya?
Over Value Developer dan Panic Buying Konsumen menyebabkan Bubble Properti di Indonesia
Sekarang, coba buka deh rumah-rumah second di rumah.com atau
rumahku.com? Harganya masih lumayan terjangkau kan? Masih kisaran
300-700 juta kan? Masih worth it. Nah ini nunjukkin kecenderungan
produsen / developer pasar primer (rumah atau apartemen baru) dengan
harga yang ketinggian banget banget. Dengan iming2 kenaikan investasi
yang besar produsen seolah memberikan justifikasi mengapa rumah baru
tersebut berharga sedemikian tingginya.
Apalagi ini dipadu dengan trik pricing seperti “sebulan lagi
harganya naik” atau “3 hari lagi harganya tambah 100 juta”, ini membuat
konsumen menjadi panik dan akhirnya membeli. Tentu saja dalam skope
kecil ini masih OK, namun kalau over value ini terus menerus dibiarkan
yang tersiksa sebenernya adalah konsumen itu sendiri karena harga
pasaran rumah second juga lama lama akan naik. Dalam rentetan
berikutnya, kalau konsumen yang membeli tersebut adalah mereka yang
membeli untuk spekulasi, maka ini adalah fase awal dari terjadinya
bubble property.
Moral of the Story untuk Konsumen Pengguna
Hehe, ini bagian paling asik. Konsumen harus cerdas. Ada beberapa
hal yang mungkin bisa dilakukan kalau Anda benar-benar ingin membeli
rumah:
1. Jangan Panik, percayalah harga M-M-an itu tidak murah. Pikirlah
panjang, kalau Anda cuma dapat luas tanah / bangunan di bawah 150 m
persegi dipinggir Jakarta lagi, wah….. Pikir seribu kali.
2. Kalau Anda pusing, coba cari rumah second saja, rumah second
lebih masuk akal. Toh walau harus renovasi, penghematan yang bisa
didapat bisa jauh lebih banyak. Dan rumah second juga bisa ditawar.
3. Kalau sudah mentok, beli saja tanah dan bangun sendiri rumah
Anda. Beli tanah yang agak lapang, bangun pelan-pelan, percayalah
rezeki akan terus mengalir kok. Di usia 40-50an ketika Anda banyak
uang, Anda tidak akan pernah menyesal membeli tanah 300 meter persegi
misalnya, karena toh Anda bisa membangun rumah yang gedeeeeeee sesuai
kantong Anda di atasnya kan?!
Pilihan ada ditangan anda, semoga tulisan ini bermanfaat untuk keperluan bisnis properti anda.
0 komentar:
Posting Komentar