Partisipasi Masyarakat dalam Melestarikan Hutan Mangrove di Kota Probolinggo
Oleh : Herrukmi Septa Rinawati*) >> Balitbang Jatim
Hutan mangrove adalah hutan tropis yang hidup dan
tumbuh di sepanjang pantai berlumpur atau lempung atau gambut atau
berpasir dan selalu digenangi oleh air laut secara berkala dan
mempunyai zona vegetasi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya. Hutan mangrove
terdapat di sepanjang pantai di daerah teluk dangkal, muara sungai,
delta, bagian terlindung dari anjung dan selat. Peranan hutan mangrove sangat penting karena merupakan suatu ekosistem yang memiliki multifungsi yang penting bagi kehidupan (Baehaqi, A dan Indrawan, 1993).
Di era pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi
wilayah, pesisir pantai mempunyai posisi yang sangat penting.
Pusat-pusat industri, lokasi rekreasi, pembangkit tenaga listrik,
pemukiman dan sarana pembangunan banyak dibangun di wilayah pesisir.
Dalam mendayagunaan wilayah pesisir untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, bisa menimbulkan dampak negatif bila dalam pelaksanaannya
tidak dilakukan secara hati-hati dan terkoordinasi. Kecenderungan makin
meningkatnya pemanfaatan kawasan mangrove di beberapa daerah telah menimbulkan akibat terganggunya ekosistem hutan mangrove sehingga tidak mampu berperan sesuai dengan fungsinya.
Perkembangan penduduk di wilayah pesisir berdampak pada terganggunya kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan data, sejak tahun 1986 ;ndash; 1990 luas hutan mangrove berkurang menjadi tinggal 60 persen (Rusila Noor dalam Rahmawati, 2003). Berarti dalam kurun waktu tersebut laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia adalah 10 persen per tahun. Khusus di wilayah Kota Probolinggo, luas hutan mangrove diperkirakan 585 hektar dengan laju kerusakan sebesar empat persen.
Dalam memanfaatkan hutan mangrove di Kota Probolinggo, telah terjadi benturan kepentingan antara Pemerintah Kota Probolinggo dengan
petani, petambak ikan dan udang tradisional dan pengusaha (industri
kayu dan petambak besar). Karena pihak-pihak tesebut memiliki
kepentingan yang berbeda terhadap hutan mangrove.
Penyebab Kerusakan
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove di Indonesia antara lain perkembangan penduduk yang menyebabkan meningkatnya pemanfaatan hutan mangrove
menjadi lahan untuk pemukiman, pertanian, pertambakan dan industri.
Menurut Rahmawati (2003), berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa
dalam dua dekade terakhir ini, konversi hutan mangrove di Indonesia paling banyak untuk tambak udang.
Pada umumnya kerusakan hutan mangrove di Kota Probolinggo tidak berbeda jauh dengan kerusakan hutan mangrove di daerah lainnya di Indonesia. Adapun kerusakan hutan mangrove di pesisir Kota Probolinggo
disebabkan antara lain karena adanya penebangan liar oleh masyarakat
sekitar baik untuk kayu bakar, arang maupun dengan tujuan
komersial/diperdagangkan sebagai bahan bangunan; perubahan lahan dari
hutan mangrove menjadi tambak atau lahan pertanian/sawah, juga untuk
proyek pembangunan antara lain normalisasi sungai di Sukabaru, kelurahan Sukabumi dan pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) di kelurahan Mayangan.
Kebiasaan dan adat istiadat masyarakat sekitar juga turut andil dalam kerusakan hutan mangrove, di antaranya yaitu menjala ikan yang menyebabkan bibit/benih mangrove
tersangkut dan tercabut sewaktu jala diangkat dari air. Selain itu
orang yang menjala ikan secara tidak sengaja dapat menginjak tanaman mangrove yang masih kecil. Kebiasaan lain yaitu menyundu udang dengan alat sundu yang dapat mencabut/merusak tanaman mangrove
yang masih kecil. Kegiatan mencari kepiting pada siang hari dengan
membangun lubang kepiting juga tidak jarang dapat merusak tanaman
mangrove.
Ini makin diperparah oleh pencarian cacing laut untuk makanan ikan
hias. Biasanya masyarakat pencari cacing terlebih dahulu
menebang/merusak pohon mangrove. Kebiasaan para nelayan mendaratkan
perahu-perahu di sekitar tanaman mangrove serta jalan masuk atau keluar yang dibuat untuk jalan perahu dapat merusak tanaman,
Selain itu dampak kerusakan juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain yaitu hama yang sering menyerang tanaman mangrove
dan dikenal sebagai “scale insect ” atau kutu loncat (mealy bug).
Ciri-ciri serangan hama ini daun menjadi kuning dan kemudian menjadi
rontok dan mati. Selain itu tanaman mangrove yang masih muda di
daerah pertambakan atau bekas tambak biasanya sering dirusak
ketam/kepiting dengan cara menggigit batang mangrove yang masih muda secara melingkar sehingga suplai makanan terputus, akibatnya lama kelamaan mati.
Akibat Rusaknya Hutan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi-fungsi hutan mangrove, baik fungsi bioekologis
maupun terganggunya fungsi bioekologis menyebabkan hutan mangrove tidak mampu lagi menyediakan jazat renik yang merupakan sumber makanan bagi ikan dan binatang laut lainnya. Hutan mangrove
yang rusak juga menyebabkan berbagai jenis burung dan binatang laut
lainnya tidak dapat lagi membuat sarang untuk bertelur dan
berkembangbiak.
Rusaknya hutan mangrove juga menyebabkan
terganggunya fungsi konservasi, diantaranya yaitu sebagai pelindung
pantai dari terjangan gelombang, badai, banjir dan abrasi, juga tidak
dapat lagi dijadikan penghambat terhadap intrusi air laut, serta tidak
lagi berfungsi sebagai perangkap dan pelokalisir sedimen.
Degradasi hutan mangrove yang berkelanjutan akan
mengganggu ekosistem yang ada di sekitarnya dan secara perlahan akan
menghilangkan fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai penghambat
intrusi air laut, perlindungan pantai dari bahaya abrasi, “nursery
ground “, perlindungan dan pertumbuhan biota di air maupun biota bukan
di air. Hilangnya fungsi hutan mangrove ini berarti lenyapnya mata
rantai berbagai kehidupan yang tidak ternilai harganya, baik untuk
kepentingan pemerintah maupun masyarakat pantai khususnya (Arifin, S
dan Manyurdin, 2000).
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah upaya yang dilakukan masyarakat
terutama di kawasan sekitar hutan mangrove untuk ikut mengelola
sekaligus mempertahankan ekosistem hutan mangrove secara terus menerus
dengan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan hidup. Partisipasi
masyarakat tidak hanya menyumbang tenaga, tetapi harus diartikan lebih
luas, yaitu harus menyangkut dari taraf perencanaan, pelaksanaan dan
pemanfaatan (Mubyarto dan Sartono,1988).
Dalam pengelolaan hutan mangrove di Kota Probolinggo, masyarakat telah berperan serta dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Dengan pola pengelolaan berbasis masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dari masyarakat (bottom up).
Dalam pengelolaan ini dikembangkan metode-metode sosial budaya
masyarakat setempat yang bersahabat dengan lingkungan ekosistem hutan mangrove
dalam bentuk pertemuan secara berkala oleh, dari dan untuk masyarakat
yang diisi dengan penyuluhan, penerangan untuk membangkitkan kepedulian
masyarakat dalam berperan serta mengelola hutan mangrove.
Pola pendekatan dilakukan dengan dua cara yaitu Program Perencanaan
Partisipasi Pembangunan masyarakat sebagai salah satu upaya perencanaan
berdasarkan rumusan yang dikembangkan dengan melibatkan masyarakat dan
pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal).
Pola pendekatan PRA ditujukan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan khususnya yang terkait dengan ekosistem hutan mangrove.
Dalam kaitan ini, penggalian akar budaya/aturan setempat menjadi
salah satu fokus utama kegiatan yang perlu diprioritaskan.
Metode PRA diterapkan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat desa
memiliki kemampuan (potensi) dalam mendeskripsikan kehidupan mereka
sendiri. Metode ini memungkinkan masyarakat setempat menganalisis
pengetahuan mereka tentang kehidupan mereka sendiri untuk membuat suatu
rencana atau implikasinya (Chamber di dalam Laksono, dkk. 2001).
Keterlibatan “Kelompok Peduli Hutan Mangrove ” dan beberapa LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) peduli lingkungan hidup (LSM Wahana, Bumi Songgo Langit,
dll) pada dasarnya merupakan babak baru dari peran serta masyarakat
yang sebelumnya hanya diwarnai oleh pelaku utama yaitu Pemerintah
Daerah. Namun seiring dengan era demokratisasi dan keinginan menuju
masyarakat madani, maka peran Pemerintah Daerah lebih sebagai
fasilitator, regulator dan stimulator. Banyak kegiatan yang pada masa
lalu dilakukan oleh Pemdah telah diambil alih oleh LSM, masyarakat dan
kalangan swasta. Bahkan masyarakat swasta yang tergabung dalam “IMF ” (Informal Meeting Forum) yang anggotanya terdiri dari 12 perusahaan besar yang ada di Kota Probolinggo telah berkembang dengan ikut sertanya tokoh masyarakat yang peduli linkungan hidup.
Peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove
dapat terlihat dari tingkat keterlibatannya, misalnya di sekolah di
wilayah pantai. Masyarakat sekolah yang terdiri dari guru dan murid
dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove sangat
membantu keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Dimulai dengan
diadakannya pertemuan antara guru-guru dengan Pemda, dengan tujuan
untuk memberikan dan meningkatkan pemahaman dan wawasan guru terhadap
lingkungan hidup. Melalui pertemuan ini diharapkan adanya masukan dari
para guru untuk membuat program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah
yang nantinya diharapkan timbul adanya pemahaman dini bagi anak-anak
sekolah terhadap lingkungan pada umumnya dan hutan mangrove pada khususnya.
Peran masyarakat sangat penting mengingat keberhasilan
program/kegiatan ini akan sangat bergantung pada kerjasama yang
diberikan masyarakat. Untuk itu diadakan pertemuan dan diskusi antar
anggota masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove. Dalam
pertemuan, masyarakat sendirilah yang membahas dan memusyawarahkan
tentang kondisi hutan mangrove. Melalui pertemuan dan diskusi ini
masyarakat mengidentifikasi dan menginventarisir semua masalah
lingkungan pantai yang terjadi dan akibat yang telah ditimbulkan.
Disamping itu juga muncul ide-ide dan alternatif pemecahan masalah
yang datang dari masyarakat sendiri. Pemerintah dapat berlaku sebagai
fasilitator untuk memberikan arahan damn membantu program dan ide-ide
yang telah disepakati oleh masyarakat dan nantinya diharapkan akan
timbul kesadaran masyarakat tentang arti penting hutan mangrove bagi manusia dan kehidupan makhluk kainnya.
Kebijakan Pemkot Probolinggo
Menurut Rahmawati, dkk (2003), selama ini pemanfaatan hutan mangrove mengarah ke eksplotasi yang berlebihan, bahkan tak terkendali. Di beberapa kawasan di Indonesia, keseimbangan hutan mangrove
dan linkungan sekitarnya mulai terganggu. Padahal berbagai peraturan
pemerintah telah dikeluarkan, diantaranya yaitu : UU No.5 tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No.5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan, UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No.23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.9 tahun 1985 tentang
Perikanan, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, PP No.51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan dan PP No. 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
Upaya-upaya melestarikan hutan mangrove juga telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Probolinggo,
yaitu dengan penyusunan dan penegakan hukum melalui Peraturan Daerah
No. 19 tahun 1992 tentang Penetapan Kawasan Lindung. Untuk
mengembalikan kondisi hutan mangrove yang rusak, Pemkot Probolinggo
melakukan langkah-langkah pembinaan dan penyuluhan. Kegiatan ini
merupakan upaya peningkatan kesadaran kepada masyarakat sekitar kawasan
pantai akan pentingnya pelestarian kawasan hutan mangrove. Ini sangat penting, mengingat kerusakan hutan mangrove
paling parah disebabkan oleh perilaku manusia. Unsur masyarakat yang
terlibat dalam kegiatan pembinaan dan penyuluhan terdiri atas petani
tambak, nelayan, pencari kayu bakar, petani sawah, tokoh masyarakat dan
unsure-unsur lainnya.
Untuk mengintensifkan hasil pembinaan termasuk tindak lanjutnya pada
aspek penanaman, pemeliharaan, pengawasan dan pengamanan hutan
mangrove, pada tiap kelurahan dibentuk kelompok-kelompok yang disebut “Kelompok Peduli Hutan Mangrove “. Selain itu juga diadakan rehabilitasi/penanaman kembali hutan mangrove
yang telah rusak dan sekaligus mengantisipasi kerusakan di masa
mendatang dngan jarak tanam yang sebelumnya 1 x 1 m menjadi 2 x 2 m
guna memberi ruang untuk menjala ikan, menyundu udang, mencari kepiting
dan menambat perahu.
Upaya pelestarian hutan mangrove yang telah
dilakukan baik oleh pemerintah, LSM, ataupun pihak lain selama ini
kurang behasil sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini karena
kurangnya melibatkan masyarakat pantai dalam pengelolaan mangrove.
Untuk itu agar pengelolaan mangrove dapat berhasil, strategi yang harus
dikembangkan adalah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Community Based Management)
yaitu keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumber daya
alam. Masyarakat ikut memikir, memformulasi, merencana,
mengimplementasi, memonitor, dan mengevaluasi kegiatan yarg telah
dilaksanakan. Melalui pendekatan ini masyarakat merasa lebih
diberdayakan dan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove akan meningkat.
Kegiatan yang mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara
lingkungan sendiri dilakukan sebagai pendukung dari pengembangan
program yang dilaksanakan. Hal ini diperlukan karena kegiatan ini
menyangkut jaminan akses ke sumberdaya, hak untuk berperanserta dalam
pengambilan keputusan dan hak atas pendidikan dan pelatihan yang
memungkinkan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan mereka secara
berkelanjutan disamping memelihara kelestarian lingkungan.
Berbagai kegiatan telah dilaksanakan untuk mendukung kreativitas
masyarakat dalam memelihara lingkungan, diantaranya adalah menyediakan
akses yang terjamin ke sumberdaya bagi kelompok dan perorangan serta
pembagian yang adil dalam pengelolaannya. Untuk itu diperlukan hak
yang sah atas kegiatan yang mereka lakukan, seperti misalnya petani
memiliki hak atas lahan yang digarapnya dalam jangka waktu yang cukup
lama, sehingga mereka dapat mengelola sumberdaya lahan tersebut dalam
jangka waktu yang lama. Sumberdaya yang dipakai bersama perlu
dikelola berdasarkan kesepakatan di antara semua pihak yang
berkepentingan.
Kreativitas masyarakat juga dapat ditingkatkan melalui pertukaran
informasi, keahlian dan teknologi. Informasi diperlukan masyarakat
untuk mengembangkan wawasan lingkungan yang berguna dalam pengelolaan
sumberdaya yang mereka miliki. Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam konservasi dan pembangunan juga dapat meningkatkan kreativitas.
Pemerintah setempat, masyarakat, kalangan dunia usaha dan
kelompok-kelompok lain yang berkepentingan harus membantu menyusun
rencana pembangunan yang akan dijalankan. Mereka menjadi mitra dalam
penentuan kebijakan, program dan proyek yang berkaitan dengan mereka
sendiri. Pemerintah harus menjamin bahwa semua kelompok dapat
mengekspresikan dan mempertahankan kepentingan masing-masing.
Penyediaan dana dapat dilakukan oleh LSM, perusahaan yang berada di lingkungan tempat tinggal melalui program CSR (Coorporate Social Responsibility),
dan lembaga pelestarian lingungan hidup. Perangkat ekonomi dan pajak,
subsidi dan jasa produksi dapat merangsang perbaikan lingkungan,
insentif ekonomi dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk
menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan dan menjamin bahwa
mereka memperoleh imbalan yang layak.
Penyebarluasan model pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis
masyarakat dikembangkan agar masyarakat secara mandiri dapat mengelola
lingkungan hidup, sehingga sumberdaya yang ada dapat terjaga
keseimbangannya. Pengelolaan lingkungan yang berbasis masyarakat akan
menciptakan suatu sistem masyarakat yang secara mandiri dapat
memanfaatkan sumberdaya alam tanpa mengabaikan kepentingan kesinambungan sumberdaya alam
itu sendiri. Dengan demikian dapat membentuk suatu pola interaksi
antara masyarakat dengan lingkungan hidupnya secara simbiosis mutualis
dalam jangka waktu panjang.
Sumber :*) Peneliti Sumber Daya Manusia Balitbang Provinsi Jawa Timur
*) http://www.balitbangjatim.com
0 komentar:
Posting Komentar