Tingkat tutur atau ragam halus yaitu Ragam
bahasa yang dipakai dalam situasi sosial yang mewajibkan sopan santun . Tingkat
tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat
tutur madya dan tingkat tutur karma.
Poedjasoedarma berpendapat bahawa
tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 terhadap 02 dan
tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap
mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah
antara krama dan ngoko; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar
kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai
tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini
menandakan adanya perasaan segan 01 terhadap 02 (Sasangka 2004:14).
1.Tingkat tutur ngoko yaitu
ungah ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko. Ciri-ciri katanya
terdapat afiks di-,-e dan –ake. Ragam ngoko dapat digunakan oleh
mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status
sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua
bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).
a.
Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh
bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko
dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap,
baik untuk persona pertama (01), persona kedua, persona kedua (02), maupun
kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
Contoh :
1)yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2)Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3)Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”
1)yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2)Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3)Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”
b. Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh
yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja,
melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon
krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk
menghormati mitra wicara (orang ke 2 atau 3) (Sasangka 2004:99-100).
Contoh:
Wingenane simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
‘Kemarin dulu nenek ke sini’
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
‘Kemarin dulu nenek ke sini’
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
Tampak bahwa pada butir tindak ‘pergi/berangkat’ dan asmane
‘namanya’ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk menghormati
mitra tutur (Sasangka 2004:100).
2 Tingkat Tutur Krama(Ragam Krama)
Yang dimaksud dengan ragam krama
adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau
yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan
leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk
krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh
mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status
sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga
bentuk
varian, yaitu krama lugu, karma andhap dan krama alus (Sasangka 2004:104).
a.
Krama Lugu / krama madya
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai
suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika
dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar
kehalusan (Sasangka 2004:105).
Contoh: Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
‘Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?’
Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
‘Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?’
Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
Tampak afiks di- pada diijolake ‘ditukarkan’ dan dipadosi “dicari’ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm unggah-ungguh ini darpada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan untuk menurunkan derajat kehalusan (Sasangka2004:108-109)
b. Krama
andhap yaitu bentuk krama yang digunakan untuk menghormati lawan bicara dengan
cara merendahkan diri sendiri.
Contoh:
Bapak kajenge sowan mareng griyani
njenengan
“bapak ingin berkunjung kerumah anda”
c. Krama Alus / karma inggil
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh
bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat
ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskopun begitu, yang
menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama.
Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur
ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap –secara konsisten-
selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara.
Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai
suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka 2004:111).
Contoh:
Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang
dumunung ing kitha.
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota’
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota’
Tampak bahwa afiks dipun- ‘di’ seperti pada dipunlintokaken
‘ditukarkan’ merupakan afiks penanda leksikon krama (Sarangka 2004:113). Cafid
(Pend. Bahasa dan Sastra Jawa Unnes).
0 komentar:
Posting Komentar